Selasa, 14 April 2009

HUMOR SEBAGAI MEDIA KRITIK SOSIAL

Di tengah masyarakat yang tertekan, humor dapat dijadikan semacam katup pelepas. Di sini humor tidak lagi sekedar “memproduksi” tawa, tetapi juga membawa pemikiran tertentu yang lebih serius. Bahkan dalam tataran filosofis, humor merupakan media protes sosial paling sesuai dengan kepribadian bangsa kita yang tidak suka dikritik secara langsung.

Pada hakikatnya humor adalah sebuah mekanisme perlindungan diri. Artinya dengan berlindung di balik sebuah lelucon, seseorang dapat menyarankan dorongan nalurinya sehingga dapat diterima di masyarakat. Melakukan humor, baik dalam bentuk lelucon maupun anekdot, individu dapat menyalurkan agresivitasnya dengan aman, tanpa ada kekhawatiran akan ditindak masyarakat maupun pihak yang menjadi sasaran lelucon tersebut. Di satu sisi masyarakat akan menyambutnya dengan tawa, di sisi lain orang yang menjadi sasaran pun tidak dapat membalas.

Di kalangan anak muda, terlebih kaum terpelajar seperti mahasiswa, humor yang bersifat protes sosial sangat digemari. Karena di kalangan kawula muda akan selalu ada saja yang merasa risau dan tidak puas dengan keadaan masyarakat. Supaya jiwa mereka tidak tertekan, perasaan tidak puas ini harus dikeluarkan dalam bentuk agresif dan tentunya bukan agresi yang bersifat primitif yang mana bukan hanya dilarang diungkapkan dalam masyarakat tetapi juga ada sanksinya. Oleh karena itu desas-desus yang hendak disebarluaskan itu diubah dahulu ke dalam bentuk lelucon, agar dapat lolos dari sensor masyarakat. Misalnya acara-acara komedi (Ngelaba, API), kerap kali memasukkan lelucon yang bersifat mengkritik. Atau sebut saja BBM (Baru Bisa Mimpi), salah satu program televisi yang kali pertama ditayangkan di Indosiar bekerja sama dengan salah satu universitas di Indonesia dan akhirnya membuat acara serupa di Metro TV dengan nama New’s Dot Com. Dan tema-tema seperti ini sudah banyak digulirkan di beberapa stasiun televisi.

Namun menurut novelis dan dramawan Putu Wijaya, ada perbedaan antara humor yang berupa lelucon dan anekdot. Jika lelucon lebih memancing tawa dan berhenti pada tawa itu sendiri, sedangkan pada anekdot efek tertawa hanya sebagai alat. Tujuan besar di balik itu adalah kritik sosial yang terkadang dapat berupa tindakan subvertif. Humor yang berupa anekdot adalah jembatan untuk menyelundupkan hal-hal yang sulit dibawa menyeberangi gardu sensor. Anekdot memberi garis filosofi untuk keluar dari frame, dan dari aturan yang membelenggu. Anekdot ini dijadikan alat berekspresi yang potensinya maksimal sementara posisinya aman.

Tetapi apakah dengan semakin banyaknya populasi humor dan semakin liarnya humor-humor yang berkembang di masyarakat akan menjadikan masyarakat kita cerdas?. Apakah bukan sebaliknya, yakni mengindikasikan sudah semakin banyak hal-hal yang tidak dapat disampaikan melalui prosedur yang wajar?.